http://www.misuh.co.cc

KATEGORI

ESAI (3) PUISI (2) TOKOH NASIONAL (5)

Senin, 13 Juni 2011

ANTARA NASIONALISME DAN TUNTUTAN PERGAULAN DALAM DUNIA GLOBAL

Mas mas mas, ojo dipleroki…
Mas mas mas, ojo dipoyoki…
Karepku njaluk diesemi…
Tingkah lakumu kudu ngerti coro…
Ojo ditinggal kapribaden katimuran…
Mengko gek keri ing jaman…
Mbok yo di eling…
Eling bab opo Mas..?
Iku Budoyo…
Pancene bener kandamu…

Penggalan lagu campur sari tersebut menggambarkan betapa rapuhnya sikap-sikap kita dalam menghadapi tatanan dunia yang semakin bebas tanpa batas tedeng aling-aling. Ketika rasa nasionalisme kita mulai terkikis oleh era informasi yang bebas ugal-ugalan keluar masuk negeri. Namun bagaimanapun juga kenyataan ini sangat sulit untuk kita lawan, apalagi di tengah realitas tatanan global saat ini. Tatanan global itu dapat disimak pada beragam gejala masalah yang ada, yaitu antara sosial dan etika, antara lambang-lambang sekularisme di dalam humanisme dan sikap-sikap fanatik dalam primordialisme yang membuka diri terhadap kekerasan, serta antara kebangsaan yang sempit dan universalisme yang tidak berkerangka. Rasanya semakin kita meneriakkan tentang pentingnya rasa Nasionalisme tersebut, malah semakin tertantanglah untuk melenceng dari sifat-sifat nasionalisme trersebut.
Memang pada dasarnya hati kita masih mempunyai segumpal cinta terhadap tanah air Indonesia ini, tapi disisi lain kita pun merasa ogah untuk mencintai bangsa kita sendiri. Kata-kata mujarab “Cinta tanah air” sudah selayaknya berubah menjadi “Cinta Negeri Asing” di tangan para pendusta.
Seharusnya nasionalis itu mengharumkan nama bangsa, nasionalis itu cinta tanah air, nasionalis itu menghargai dan memperjuangkan jasa para pahlawannya, harusnya nasionalis itu patuh dan tegas terhadap janji negaranya atas dirinya misalnya Sumpah Pemuda, dan harusnya nasionalis itu menjunjung tinggi budaya bangsanya. BUKAN SEBALIKNYA.

Namun sayangnya dalam dunia pergaulan (yang katanya sih tren saat ini), mengharuskan para umatnya untuk selalu mengikuti gaya-gaya asing. Semakin ketinggalan gaya yang terbaru, semakin dibilang ketinggalan zaman. Memang sungguh aneh ini ketika modernitas dijadikan sebagai tolok ukur tren pergaulan.
Ironisnya lagi, bukan hanya pemuda yang kehilangan rasa nasionalisme ini tapi juga para pemimpin bangsa ini sudah sangat rusak rasa nasionalisme mereka. Dan dampak yang lebih parah lagi, sebagai tokoh mereka adalah panutan bagi rakyatnya. Baru hitungan beberapa hari yang lalu dikabarkan bahwa jatuhnya pesawat Merpati juga karena keserakahan beliau-beliau wakil rakyat yang dengan bodohnya lebih suka memillih membeli pesawat buatan Cina dari pada buatan Anak Negeri sendiri. Ironis sekali, ketika Pemerintah gencar meneriakkan “Cintailah Produk Indonesia”, tapi pemerintah sendiri semakin cinta produk asing. Belum lagi yang lainnya seperti korupsi yang semakin terus terang dilakukan tanpa rasa perkewuh, dan rasanya semakin mereka dicap sebagai koruptor kelas kakap semakin bangga mereka. Penunggangan lembaga oleh partai politik yang mereka katakana demi bangsa Indonesia pun semakin terasa aneh. “PSSI untuk Indonesia” (katanya sih begitu), kalau memang untuk Indonesia kan seharusnya tidak dipolitisi bukan.

Memang pada dasarnya tidak dapat kita pungkiri bahwasanya sejarah kebudayaan Indonesia sesungguhnya banyak mengalami pengaruh dari ragam budaya-dudaya daerah dan juga budaya-budaya Negara asing. Sejarah menyakitkan tentang penjajahan Belanda selama 350 tahun menduduki Indonesia, lalu pada kekejaman bangsa Jepang yang menjajah bangsa kita dalam waktu yang relatif singkat tapi dirasa lebih kejam dari pada masa penjajahan Belanda memang sedikit banyak meninggalkan kebudayaan-kebudayaan mereka di negeri kita tercinta Indonesia ini. Belum lagi ditambah masuknya pengaruh-pengaruh kebudayaan yang dibawa oleh para penyiar agama yang antara lain Hindu yang dibawa oleh bangsa dari India, Buda dari Cina, Kristiani dari Portugis dan Islam dari Arab.

Tidak salah dan memang benar kenyataannya jika kita mengatakan kebudayaan Indonesia itu sesungguhnya adalah budaya “gado-gado” atau “campur aduk”. Namun jika kita mau menelaah lebih jauh lagi tentang kebudayaan manusia di negeri mana-pun, sesungguhnya tidak ada di dunia ini yang memiliki kebudayaan yang benar-benar asli. Saya berani taruhan potong kuku kalau saya salah, hehehe. Untung kita dilahirkan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki “Bineka Tunggal Ika” yang telah mempersatukan keanekaragaman kita.

Tak akan pernah habis kemarahan kita jika mengingat-ingat dan terus mengorek masa lalu kita yang nyaris tidak ada kebahagiaan di sana. Lebih banyak kesengsaraan yang kita alami pada masa lalu kita. Bukan hanya menjatuhkan harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang besar tapi juga mengoyak-ngoyak kepribadian kita dengan menyebarkan semua paradaban yang dibawa oleh mereka para penjajah. Tapi bukan di situ permasalahannya yang harus kita kaji. Lebih baik kita memikirkan akan dibawa kemana arah masa depan bangsa kita yang “besar” ini di mata dunia? Apakah akan kita bawa menuju tatanan ke-Eropa-eropaan ataukah ke-Amerika-amerikaan, atau ber-Inggris ria, atau mungkin nJepang, atau lebih baik benar-benar ber-Indonesia?

Globalisasi dalam semua aspek ini termasuk kebudayaan mungkin saja adalah penjajahan dengan cara baru. Bukan hal yang mustahil jika ternyata moral kita sebagai bangsa yang besar tengah diserang. “Gold, Gospel, dan Glory” sekiranya kita masih ingat visi para penjajah tersebut. Sebuah tatanan dunia yang baru sengaja mereka ciptakan agar semakin memudahkan mereka untuk mengeksploitasi Negara jajahan mereka.

Apa yang sebenarnya terjadi dalam fenomena sikap kita yang “acuh tak acuh” terhadap kebudayaan bangsa kita ini? Padahal kita telah mengerti sesungguhnya “Budaya menunjukkan Bangsa”. Bahwa seperti apa kebudayaan kita, itu menunjukkan seperti apa bangsa kita di mata dunia. Apakah kita merasa kecil di hadapan dunia? Kalau saya sendiri justru merasa sangat besar di hadapan dunia. Betapa tidak, kita memiliki keanekaragaman budaya yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bangsa lain sampai-sampai banyak para budayawan manca Negara yang mberguru ke negeri kita hingga ada beberapa diantara mereka yeng membentuk semacam cagar budaya Indonesia di negerinya ketika pulang dari Indonesia.

Ironis memang ketika terjadi fenomena seperti saat ini, yaitu “Bangsa Asing Lebih mengerti tentang Tanah Air Kita Indonesia, dari pada kita sendiri” (Saya kutib dari Puisi Mega Ndenk).

Baiklah, sekarang marilah kita berhenti sejenak mengenang kepahitan sejarah kita dulu. Mulai sekarang mari kita melihat ke depan untuk lebih “BERANI menjadi INDONESIA” demi eksistensi kita di mata Dunia.

NB: Saya sendiri-pun sampai kesulitan mencari kata eksistensi dalam bahasa Indonesia.

2 komentar:

Tinggalkan Cuap-cuap